Bunderan Hotel Indonesia Jakarta
“Mari berbicara lewat foto”, demikian narasi
pembuka pada komunitas Kampret (Kompasianer Hobi Jepret) di Facebook.
Sepintas membaca kalimat ini, terasa ambigu. “Masak sih, kita bisa
berkomunikasi dengan foto?” sanggah saya tapi dalam batin saja.
Terpancing dengan statemen itu, lalu saya ingat
dengan apa yang diajarkan oleh dosen Filsafat Antropologi ketika saya
masih kuliah. “Semua ciptaan Tuhan, bisa diajak bicara. Hanya kualitas
bicaranya tidak masif dan bergradasi secara intens. Manusia bisa
berbicara dengan hewan atau semua mahkluk hidup. Hanya kualitas
komunikasinya menengah. Manusia juga bisa mengajak ngobrol dengan batu
atau benda mati lainnya. Hanya kualitasnya rendah sekali. Yang paling
berkualitas adalah komunikasi antar manusia.”
Atas dasar itu, foto pun, termasuk benda mati,
namun secara visual ia menghidupkan diri lewat ekspresi yang
tergambarkan. Artinya, kemampuan berdialog dan berbicara pada manusia
boleh dikata berkualitas karena konsep otonomi dan korelasinya. Semua
foto berpotensi untuk bisa berbicara secara intens atau bisa saja kurang
komunikatif tergantung hasil fotonya.
Gemerlap Malam Jakarta
Kendati begitu, adalah sebuah kesulitan besar untuk
mendapatkan foto yang “mampu berbicara’ atau sering disebut foto yang
berkarakter. Sejauh pengalaman saya sebagai pemula dalam dunia
fotografi, menghasilkan foto yang baik, bukan tanpa perjuangan. Tak ada
foto yang baik, tanpa terlebih dahulu melewati proses “learning by
doing”. Setidak-tidaknya itulah proses pembelajaran saya ketika
fotografi menjadi hobi. Belum sampai ke level profesional.
Menjadikan foto itu bisa berbicara, atau lewat
foto, saya bisa berkomunikasi dengan siapa saja terutama dengan
teman-teman penggila fotografi, adalah sebuah tantangan tersendiri yang
mengasyikan. Berkali-kali saya “lamu” (banyak ngomong), bahwa semakin
orang suka dengan fotografi semakin mendapatkan sebuah terapi yang
menyehatkan. Maksudnya, saya bisa berlatih sabar, bijak, konsisten dan
tentu saja yang namanya pembelajaran akhirnya menambah ilmu dan
pengetahuan saya tentang fotografi.
Di mana saya bisa belajar berkomunikasi lewat
foto? Ada dua tempat. Yang pertama ikut bergabung dalam komunitas
fotografer ( de’kodakens) di sekitar tempat tinggal saya. Sebenarnya
saya minder ikut komunitas fotografer itu. Alasannya saya, “gear” atau
kamera dan lensa saya sangat standard. Saya beli kamera dulu tujuannya
untuk motret dalam rangka mendokumentasikan setiap kegiatan. Atau
tepatnya disebut sebagai “asal jepret” yang penting fotonya jelas.
Memang saya akui saat itu, teknik pemotretan saya jauh dari semua teori
fotografi. Tak heran, setting auto (warna hijau) dan P, sangat saya
sukai.
Lawang Sewu, Tak Begitu Seram Kalau Malam
Yang kedua, saya ikut bergabung dalam Kampret.
Banyak hal saya diperkaya oleh kampretos (julukan para anggota Kampret).
Mulai dari teknik, kategori dalam setiap foto sampai diskusi tentang
perangkat kamera dan lensa. Pokoknya, ilmu saya tentang fotografi
ditambahkan oleh Kampret. Apalagi akhir-akhir ini setiap minggu diadakan
WPC (Weekly Photo Chalenge). Lebih lengkapnya, silahkan yang suka
fotografi bisa bergabung dengan komunitas Kamprets melaui facebook.
Kembali ke sebuah pertanyaan dan pernyataan
awal. Berbicara lewat foto. Kali ini, saya mau mencoba berkomunikasi
dengan foto malam. Untuk lebih mudahnya saya ambil foto-foto malam saya
ketika saya jalan-jalan malam di tengah kota. Kalau ada lagu berjudul
“senja di batas kota”, foto-foto malam saya saya beri judul “malam di
batas kota”.
Suatu hari, teman saya mengajak saya untuk
hunting malam di kota Semarang. Pada malam yang cerah kami keluar rumah
dan saat itu sudah pukul sembilan malam. Kota Tua, Pelabuhan Tanjung
Emas, Seputaran Tugu Muda dan Lawang Sewu adalah target bidikan kamera
kami. Mengapa spot-spot itu menjadi buronan kami, karena spot itu tak
lain adalah ikon kota Semarang dan sudah dikenal secara meluas.
Tugu Muda Semarang
Setelah jepret sana jepret sini, saya kemudian
menyimpulkan bahwa foto di malam hari tidak semudah foto di siang hari.
Settingannya pada kamera harus pas. Kalau tidak pas, maka hasilnya blur
atau shake. Teman saya mengusulkan agar main di slow speed dan pakai
tripod. Senter alat bantu guna menimbulkan efek terang pada
foreground-nya.
Setelah hunting, kami lalu pulang dan esoknya kami
berdiskusi soal foto hasil jepretan malam itu. Intinya, penguasaan
teknik harus ditingkatkan lagi. Namun, ada yang lebih menarik. Foto-foto
yang dihasilkan itu berbicara tentang masa lalu kota Semarang yang
secara historis, mencerminkan tentang pengaruh penjajahan Belanda bagi
masyarkat kota Semarang. “Belanda memang hebat dalam tata ruang kota dan
pembangunan gedung-gedung yang tahan ratusan tahun. Sangat visioner”
kata teman saya dengan polosnya, pada hal ia lahir di tahun 80-an.
Berbeda dengan foto malam saat saya di Jakarta.
Kali ini teman saya mengajak saya ke puncak gedung Grand Indonesia yang
katanya tingginya hingga 56 tingkat. Saat di puncak, angin begitu
kencang hingga terasa seperti mau diterbangkan. Dengan semangat nekat,
kendala kencangnya angin saya atasi dengan cara berlindung pada salah
satu tembok yang menahan kencangnya angin.
Di atas puncak Grand Indonesia itu, Bunderan
HI, Jalan Tamrin dan gemerlapnya kota Jakarta, menjadi target bidikan
kamera saya berkali-kali hingga setengah putaran gedung GI itu. “Itulah
kehidupan malam kota Jakarta. Tak kenal lelah sedikitpun kendati malam
semakin melarutkan asa. Rasanya 24 jam hidup masih saja kurang kalau ada
di Jakarta”, batin saya.
Becak, Di Atas Jembatan Kali Berok Kota Lama Semarang
Foto malam di batas kota, memang asyik. Tapi
dibutuhkan nyali untuk memotretnya. Selain melawan angin malam dan
waktu, teknik memotret malam perlu dikuasai. Untuk itulah saya belajar
foto pada malam di batas kota dengan kamera dan lensa terbatas serta
minimnya pengetahuan fotografi karena saya masih pemula dalam fotografi.
Akhirnya, mari kita berbicara lewat foto.
0 komentar:
Posting Komentar